Pustaka Lestari

Kehadiran Undang-Undang Masyarakat Adat

Arimbi Heroepoetri.,SH.LL.M

Direktur PKPBerdikari, Fellow MIT – UID Ideas 5.0, Staf Ahli Wakil Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR-RI)

 

Palu yang diketuk dalam sidang Paripurna DPR, Selasa 23 Maret 2021, untuk mensahkan Program Legislasi Nasional (Prolegnas) 2021 seperti menyambung harapan kembali akan lahirnya UU Masyarakat Adat.  Maklum saja sudah lebih dari satu dekade RUU Masyarakat Adat dibahas di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), namun belum ada titik sepakat untuk menjadi Undang-undang.

 

Rancangan Undang-undang (RUU) ini sudah dibahas DPR sejak 2009, pada masa  Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, Kementerian Kehutanan yang ditunjuk sebagai penerima Amanat Presiden (AMPRES) tidak melakukan suatu proses percepatan hingga masa bakti DPR periode 2009-2014 berakhir. Kemudian kembali masuk ke DPR tahun 2018, setelah terbit Surpres No. B-186/M.Sesneg/D-1.HK.00.03/03/2018 tentang Pembentukan Tim Pemerintah untuk Membahas RUU Bersama DPR. Namun kembali, menjelang berakhirnya masa bakti DPR di tahun 2019, Daftar Isian Masalah (DIM) dari pemerintah tidak kunjung disampaikan ke DPR, sehingga praktis tidak ada pembahasan.

 

RUU Masyarakat (Hukum) Adat kembali termasuk salah satu RUU inisiatif DPR dalam daftar Prolegnas Prioritas 2021, setelah semua Fraksi, kecuali Fraksi Golkar, menyetujui RUU ini masuk dalam Prolegnas dalam rapat Fraksi yang digelar  14 januari 2021. Fraksi Golkar memandang bahwa pengaturan mengenai masyarakat adat belumlah terlalu penting untuk dibahas di tahun 2021 ini.  Nasib RUU ini memang timbul-tenggelam di tengah lautan perdebatan di tingkat parlemen maupun di tingkat eksekutif.  Namun demikian tercatat bahwa fraksi yang konsisten mendukung lahirnya UU Masyarakat Adat adalah Fraksi Partai Nasdem ditengah sepinya dukungan dari fraksi-fraksi lainnya.

 

Kehadiran dasar hukum setingkat UU untuk mengatur dan melindungi keberadaan masyarakat adat di Indonesia adalah penting, mengingat tidak ada satupun kelembagaan Negara yang mengatur tentang masyarakat adat, semuanya terserak di beberapa kementrian, seperti  Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Kementerian Sosial, Kementrian Pariwisata, dan Kementerian Desa. Sementara masalah di tingkat tapak semakin mengkhawatirkan, sehingga mendorong Aliansi Masyarakat Adat Nusantarara (AMAN) sebuah organisasi massa yang beranggotakan 2500 komunitas adat di Indonesia meminta adanya UU Masyarakat Adat. Masyarakat adat kerap mengalami penyingkiran, pengabaian, menghadapi proses kriminalisasi, dan konflik yang berkepanjangan tanpa penyelesaian yang berarti.

 

Berkas pengaduan Masyarakat Adat yang diterima oleh Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) sendiri semakin meningkat setiap tahunnya, sebanyak 117 berkas (2012), 113 berkas (2013), dan 213 (2014). Dalam Inkuiri Nasional Komnas HAM tentang Penyelidikan Masyarakat  Adat dan Kawasan Hutan (2016) tercatat rata – rata setiap tahun ada 6000 berkas pengaduan yang diterima oleh Komnas HAM.

 

Selain itu, penetapan hutan adat dalam skema Perhutanan Sosial pun realisasinya sedikit. Dari target 12.7 juta hektar peruntukkan hutan adat, sampai tahun 2021 ini total yang tercapai hanya sekitar 44.630 hektar alias 1% dari skema perhutanan sosial lainnya. Mandat dari putusan Mahkamah Konstitusi No. 35/PUU-X/2012 untuk memberikan pengakuan terhadap pengelolaan hutan adat dijawab pemerintah dengan program pemberian sertifikat tanah yang bertentangan jauh dengan semangat pengelolaan kolektif masyarakat adat terhadap ruang hidup.  AMAN mencatat, dari 9,6 juta hektar wilayah adat yang terpetakan dan terdaftar di pemerintah, ada 313.000 hektar tumpang tindih dengan hak guna usaha (HGU) yang tersebar di 307 komunitas adat.

 

Melihat ketidakakuran untuk menghasilkan UU Masyarakat Adat di tingkat parlemen, juga ketidakkonsistenan pemerintah dalam pembahasan DIM RUU, nampaknya belum ada kesepakatan bulat untuk adanya UU Masyarakat Adat, padahal kehadiran UU ini selain dorongan dari masyarakat juga merupakan amanat konstitusi seperti yang tertuang dalam pasal 18b ayat 2, 28I ayat 3 dan Pasal 32. Keengganan untuk memproses RUU Masyarakat Adat secara serius bukan saja tindakan tidak taat pada amanat konstitusi, tetapi juga membiarkan konflik di tingkat masyarakat dibiarkan tanpa penyelesaian yang telah dan akan terus menjadi beban sosial, ekonomi dan lingkungan bagi Indonesia.*