Selasa, 28 Juli 2020
suara perempuan, kenegaraan, berita
Agenda Reformasi Kepartaian Bagian Kedua
Penelitian CSIS mengungkan isu utama kedua yang bisa didorong dalam perubahan Undang-Undang Pemilu dan UU partai politik ke depan, yaitu reformasi elektoral untuk meningkatkan keterwakilan perempuan di parlemen.
Salah satu isu yang perlu terus didorong untuk perbaikan politik elektoral di Indonesia adalah bagaimana meningkatkan keterwakilan perempuan di parlemen. Upaya meningkatkan keterwakilan perempuan sudah dilakukan sejak setidaknya tahun 2004. Saat itu pemerintah dan DPR menyetujui alokasi kuota gender 30 persen kepada setiap partai politik lewat UU Pemilu Nomor 12/2003.
“Untuk memperjuangkan kepentingan perempuan, para perempuan-lah yang harus mengubah sistem, salah satunya dengan terjun ke dunia politik”.
Lestari Moerdijat
(Dalam Wawancara dengan CNBC 08 Desember 2019)
Kuota Gender
Pada awal penerapannya, alokasi kuota gender ini banyak menuai kritik. Kritik sebagian didorong karena ia bersifat himbauan belaka tanpa enforcement bagi parpol yang tidak memenuhi kuota 30 persen. Selain itu tidak ada perintah yang menjelaskan bagaimana nomor urut calon ditentukan. Dengan sistem pemilu setengah terbuka di mana faktor nomor urut adalah kunci keterpilihan, ketiadaan aturan tentang bagaimana kandidat perempuan dicalonkan membuat perempuan sulit kompetitif.
Alhasil jumlah perempuan yang mencalonkan diri rendah, dan hanya 11.8 persen perempuan yang terpilih di Pemilu 2004. Tetapi ini masih lebih baik dibandingkan Pemilu pertama pasca orde baru tahun 1999 yang dilaksanakan tanpa kuota gender. Saat itu jumlah keterpilihan perempuan ada diangka 8.8 persen.
Perbaikan desain Pemilu yang lebih ideal terjadi pada 2009. Ketika itu UU Pemilu yang baru mewajibkan setidaknya ada satu kandidat perempuan pada tiga nomor urut pertama. Aturan ini dibarengi dengan sanksi tegas bagi parpol yang tidak comply dengan aturan; larangan mengikuti Pemilu. Jumlah perempuan yang terpilih di 2019 meningkat drastis menjadi 18.3 persen.
Tetapi keberhasilan ini kemudian mulai dipertanyakan karena dengan aturan yang sama pada Pemilu 2014, persentase keterpilihan calon perempuan justru turun menjadi 17.3 persen. Sebagian menganggap, selain faktor-faktor sosio-kultural yang dianggap patriarkis, calon perempuan lebih dirugikan oleh menguatnya faktor politik uang dan klientalisme antara kandidat dan pemilih dibandingkan calon laki-laki.
Tetapi yang barangkali agak mengejutkan, pada Pemilu 2019 angka keterpilihan perempuan kembali meningkat menjadi 20.5 persen. Angka ini setara dengan 118 dari total 575 kursi anggota dewan terpilih. Tanpa ada perubahan berarti terkait pasal kuota gender sejak Pemilu 2009, selain dari tanda-tanda bahwa perhatian dan kesadaran publik terhadap isu gender semakin menguat seiring waktu, angka 20.5 persen adalah capaian tertinggi sepanjang penyelenggaraan Pemilu di Indonesia.
Menurut laporan Inter-Parliamentary Union, Indonesia memang masih tertinggal dari rata-rata keterwakilan perempuan di level global yang mencapai 24.3 persen. Tetapi angka kita sudah di atas rata-rata untuk kawasan Asia dan Pasifik yang mencapai 20 dan 16.3 persen. Pencapaian Indonesia juga jauh lebih baik dibandingkan negara-negara di kawasan Timur Tengah dan Afrika Utara. Menurut laporan tersebut, per Februari 2020, Indonesia menduduki peringkat 103 dari 190 negara (masih di bawah Filipina, Singapura, dan Vietnam).
Dari empat kali penyelenggaraan Pemilu dengan kuota gender, ada sejumlah pelajaran yang bisa Indonesia ambil, dan barangkali juga berguna jika Indonesia ingin memperbaiki desain sistem Pemilu ke depan. Pertama, kuota gender akan efektif manakala dibarengi dengan aturan pendukung yang jelas, yang dalam kasus Indonesia aturan pendukung ini adalah placement mandate alias penentuan nomor urut pencalonan. Dalam studi lintas negara oleh Schwindt-Bayer (2009), kuota gender yang didesain secara khusus untuk meningkatkan partisipasi politik perempuan memang pada akhirnya mengarah pada meningginya representasi kandidat perempuan di parlemen.
Tetapi, masih menurut Schwindt-Bayer, efektivitas kuota ini tergantung dari desain aturannya; seberapa jauh kuota gender ini dibarengi dengan enforcement mechanism (seperti sanksi diskualifikasi bagi parpol dalam Pemilu) dan aturan-aturan yang mengatur nomor urut pencalonan. Studi tersebut juga menekankan pentingnya placement mandate dalam sistem proporsional terbuka seperti yang diterapkan di Indoneisa. Ini karena dalam sistem terbuka, pemilih lebih mengandalkan faktor-faktor heuristis seperti nomor urut calon dan latar belakang kandidat ketika mencoblos di kotak suara.
Desain Elektoral
Penelitian Puskapol UI mengonfirmasi pentingnya faktor nomor urut ini. Pada Pemilu 2019, 48 persen kandidat perempuan yang terpilih adalah mereka yang berada di nomor urut 1. Persentase keterpilihan menyusut seiring nomor urut yang semakin ke bawah: 25 persen perempuan terpilih di nomor urut 2; 12 persen di nomor urut 3; dan 15 persen keterpilihan untuk mereka yang berada di atas nomor urut 3. Hal yang sama terjadi di Pemilu 2014: 62.14 persen perempuan yang terpilih di Pemilu 2014 ada di nomor urut 1; 16.96 persen di nomor urut 2; dan 4.46 persen di nomor urut 3. Oleh karena itu penting mempertahankan placement mandate ini untuk menjaga peluang keterpilihan kelompok perempuan di Pemilu yang akan datang.
Pelajaran kedua terkait dengan bagaimana desain politik elektoral mempengaruhi peluang kandidat perempuan. Dalam studi komparatif representasi perempuan di Latin Amerika, Jones (2009) menjelaskan hubungan kuat antara sistem kuota dan pilihan sistem Pemilu.
Sistem tertutup lebih kondusif mendorong partisipasi politik perempuan dibandingkan sistem proporsional. Ini karena dalam sistem tertutup partai politik diberikan diskresi menentukan calon legislatif pilihan mereka di setiap Dapil. Jika diskresi ini dibarengi dengan provisi tambahan, misalnya, jika ada partai yang memperoleh tiga kursi atau lebih dalam satu distrik/dapil, maka satu kursi minimal diserahkan kepada kandidat perempuan – dengan cara ini jumlah kandidat perempuan terpilih bisa naik signifikan.
Tambahan lain, artikel tersebut menekankan peran district magnitude dalam perolehan suara perempuan. Apa pun sistem Pemilunya, district magnitude dengan tingkat moderat sampai tinggi dianggap lebih inklusif bagi kandidat perempuan dibandingkan sistem plurality atau first-past-the-post. Ini karena biasanya kandidat perempuan diuntungkan dari sisa suara yang tidak habis dikonversi menjadi kursi oleh kandidat-kandidat kuat laki-laki. Dengan kata lain, jika district magnitude makin diperkecil, kemungkinan besar kursi akan dimenangkan oleh calon laki-laki yang mungkin dianggap lebih mengakar dan lebih layak di mata pemilih.
Tentu masih ada peluang bagi perempuan untuk terpilih dalam district magnitude yang kecil. Dengan asumsi bahwa pengecilan dapil akan merugikan kaum perempuan, maka kita bisa mendesain aturan tambahan untuk ‘membantu’ posisi mereka yang unik. Misalnya dengan mengubah bilangan pembagi pemilih. Dengan cara ini, konversi jumlah suara untuk satu kursi di satu dapil dibedakan antara kandidat perempuan dan kandidat laki-laki. Tetapi jika jumlah kursi dianggap cukup banyak, dan peluang bagi perempuan untuk bersaing dianggap cukup terbuka, pilihan yang berpotensi mengundang kontroversi ini bisa dihindari.
Hal ketiga yang juga penting dipahami adalah nature dari kebijakan afirmasi ini. Sejak 2004 hingga 2019, aturan kuota gender hanya mengatur dari segi input pencalonan, tetapi bersikap abstain terhadap output Pemilu. Sebagian pihak masih ada yang menganggap bahwa representasi perempuan masih rendah di parlemen karena kuota 30 persen tidak pernah terpenuhi. Ini anggapan yang salah kaprah karena mengasumsikan jumlah representasi (output) harus sesuai dengan banyaknya pencalonan (input).
Tentu saja banyak yang menginginkan representasi perempuan meningkat. Tetapi kuota 30 persen hanyalah batas pencalonan minimal yang harus dipenuhi oleh parpol. Akibatnya persentase kandidat perempuan dibanyak parpol pada Pileg 2019 betul-betul ada di kisaran 30-an persen saja. Pada Pemilu terakhir, tiga besar partai dengan Caleg perempuan terbanyak adalah PKPI (55.9 persen), Garuda (48 persen), dan PSI (45.6 persen). Tetapi tiga partai ini terhalang jalan terjal ambang batas parlemen.
Jika mau menambah jumlah legislator perempuan tetapi tetap masih ingin mengatur dari segi inputnya saja, hal tersebut bisa dilakukan dengan cara menaikkan jumlah kuota. Prancis, misalnya, menerapkan sistem parity, di mana jumlah Caleg perempuan dan laki-laki yang dicalonkan setiap parpol harus seimbang 50 – 50 (persen). Efek dari penerapan sistem ini adalah jumlah legislator perempuan yang tinggi di Prancis, mencapai 40 persen per tahun 2019.
Negara lain yang menerapkan sistem parity adalah Meksiko. Pada 2014, reformasi konstitusi di Meksiko mewajibkan setiap parpol mencalonkan caleg perempuan dan laki-laki dengan jumlah yang sama. Hasilnya pada Pemilu 2018, perempuan menguasai 48.2 persen kursi di parlemen dan 49.2 persen kursi di Senat (Meksiko ada di posisi lima besar negara dengan jumlah politisi perempuan terbanyak).
Reserve Seat
Memang kuota 30 persen sudah menjadi standar umum yang digunakan di banyak negara. Tetapi sebagian negara mengambil sikap lebih progresif dengan menggunakan kuota untuk mengatur output pemilihan, alih alih input pencalonan belaka seperti di Indonesia. Pengaturan dari segi output ini dilakukan dengan cara reserved seat, yakni sejumlah kursi yang memang dialokasikan secara khusus untuk kandidat perempuan. Ini mirip dengan model utusan golongan di DPR RI era Orde Baru.
Reserved seat ini telah dilakukan di negara-negara seperti Bangladesh, Rwanda, Bolivia, dan Afganistan. Jumlah kursi yang dialokasikan pun bervariasi, mulai dari 15 sampai 50 persen. Selain itu ada juga reserved seat yang bersifat kondisional: jika ada parpol yang mendapat tiga kursi atau lebih di suatu dapil, minimal satu dari tiga kursi yang didapat harus diberikan kepada kandidat perempuan.
Penerapan aturan reserved seat di negara-negara di atas memang secara dramatis meningkatkan representasi politik perempuan. Tahun 1990, jumlah politisi perempuan di parlemen Bolivia dan Rwanda hanya 9 dan 17 persen. Pada 2015, angka representasi naik hingga mencapai mayoritas menjadi masing-masing 53 dan 64 persen (Rwanda dan Bolivia kini ada diposisi 1 dan 3 negara dengan jumlah representasi perempuan terbanyak di parlemen nasional).
Kebijakan Afirmatif
Terakhir, masih terkait dengan nature aturan kuota gender, publik kiranya harus memahami bahwa kuota gender pada dasarnya adalah suatu kebijakan afirmatif. Dalam setiap kebijakan afirmatif, biasanya sudah dipahami alasan mengapa suatu kebijakan diambil. Meskipun pasti ada pro dan kontra, tetapi sebagian studi menunjukkan bahwa efficiency lost dari kebijakan afirmatif itu relatif kecil dan karenanya bisa diabaikan, dibandingkan potensi keuntungan yang bisa diraih.
Karena inheren dalam suatu kebijakan afirmatif keinginan untuk meningkatkan aspek tertentu dari kelompok-kelompok yang dianggap termarginalkan, maka kaum pendukung kebijakan ini sebaiknya tidak terlalu terburuburu menuntut perbaikan-perbaikan yang kurang realistis. Contoh dari tuntutan ini misalnya, membenturkan antara kuantitas dan kualitas dari kelompok afirmatif, seolah-olah kedua hal ini bisa didapat sekaligus dalam waktu singkat.
Ilustrasi yang paling sering digunakan terkait kebijakan afirmatif adalah yang terkait dengan kebijakan masuk perguruan tinggi (college admissions). Sejak berabad-abad di Amerika, mengenyam pendidikan di kampus dan perguruan tinggi papan atas dianggap sebagai privilese orang-orang kulit putih. Baru lah pada abad ke-20 kampus-kampus mulai secara aktif menerapkan kebijakan afirmatif bagi orangorang kulit berwarna (kerap diistilahkan sebagai race-conscious admissions). Kebijakan ini dalam perjalanannya banyak ditentang karena dianggap memperkenalkan sejenis diskriminasi baru bagi kaum kulit putih. Tetapi Mahkamah Agung Amerika Serikat berulang kali menyatakan bahwa seleksi berbasis ras dan etnis adalah sah dan tidak bertentangan dengan konstitusi.
Seleksi kampus kini tak melulu mengandalkan ukuran-ukuran akademis, tetapi juga faktor primordial seperti ras dan etnisitas. Dengan cara ini kampus menjaga inklusivitas dan keberagaman civitas academica, dua nilai yang relatif masih dijunjung tinggi di kampus-kampus Amerika. Dengan cara ini pula kampus memastikan peluang bagi mobilitas vertikal tetap terbuka bagi kelompok-kelompok marginal.
Sekalipun kontroversial, kabar baiknya ternyata kebijakan afirmatif di dunia pendidikan tak hanya memberikan keuntungan pada kelompok yang underrepresented. Laporan dari the Century Foundation menunjukkan bahwa sekolah dan kampus yang terintegrasi secara rasial dan kelas sosial ternyata memberikan keuntungan kognitif dan sosial yang lebih besar kepada para peserta didik.
Equal Treatment Dimulai Dari Kampus
Belajar berkelompok dengan orang berlatar belakang berbeda ternyata mendorong mahasiswa menjadi lebih kritis, kreatif, dan empatik. Kelas yang terintegrasi juga bisa mengurangi bias rasial dan stereotype antarmahasiswa, sekaligus memberikan pengalaman kelas yang unik yang lebih memuaskan bagi peserta didik.
Apakah dengan kebijakan afirmasi berumur puluhan tahun ini posisi sosial kelompok kulit berwarna di Amerika menjadi lebih baik? Mungkin tidak. Tetapi faktanya kebijakan ini tetap diteruskan dan kini menjadi norma dalam seleksi perguruan tinggi. Dan menariknya, sekali pun banyak ditentang, sulit menemukan debat yang membenturkan antara kuantitas vs. kualitas dalam seleksi perguruan tinggi.
Paling banter, argumen utama penolak afirmasi perguruan tinggi adalah karena kebijakan tersebut berpotensi mencederai hak equal treatment yang seharunya diberikan oleh negara kepada tiap individu, apa pun latar belakang sosial-ekonominya. Tetapi dua kelompok yang berselisih sepakat bahwa pada dasarnya menjaga keberagaman di dalam kelas dan perguruan tinggi secara umum memang diperlukan.
Dengan perspektif ini bisa mendudukkan polemik kuantitas vs. kualitas yang kerap disuarakan pendukung kuota gender, termasuk para aktivis perempuan: bahwa bersikap sinis terhadap kuantitas yang kian meningkat dari para politisi perempuan, seperti yang ditunjukkan akhir-akhir ini, justru pada dasarnya bertentangan dengan semangat dasar suatu kebijakan afirmatif.
*) Diolah dari berbagai sumber oleh MRC (Media Research Centre) Media Group